Seorang wanita yang mengenakan gaun pudar menggandeng suaminya yang berpakaian sederhana dan usang, turun dari kereta api di Boston dan berjalan dengan malu-malu menuju kantor Pimpinan Harvard University.
Mereka meminta janji. Sang sekretaris universitas langsung mendapat kesan bahwa mereka adalah orang kampung udik sehingga tidak mungkin ada urusan di Harvard dan bahkan mungkin tidak pantas berada di Cambridge.
“Kami ingin bertemu Pimpinan Harvard,” kata sang pria lembut.
“Beliau hari ini sibuk,” sahut sang sekretaris cepat.
“Kami akan menunggu,” jawab sang wanita.
Selama empat jam sekretaris itu mengabaikan mereka, dengan harapan bahwa pasangan tersebut akhirnya akan patah semangat dan pergi. Tetapi ternyata tidak. Mereka tidak beranjak. Sang sekretaris mulai frustrasi dan akhirnya memutuskan untuk melaporkan hal itu kepada sang pemimpinnya. “Mungkin jika Anda menemui mereka selama beberapa menit, mereka akan pergi,” katanya pada sang Pimpinan Harvard.
Sang pimpinan menghela napas dengan geram dan mengangguk. Orang sepenting dia pasti tidak punya waktu untuk mereka. Ketika dia melihat dua orang yang mengenakan baju pudar dan pakaian usang di luar kantornya, rasa tidak senangnya sudah muncul. Dengan wajah galak, Sang Pemimpin Harvard menuju pasangan tersebut.
Sang wanita berkata padanya, “Kami memiliki seorang putra yang kuliah tahun pertama di Harvard. Dia sangat menyukai Harvard dan bahagia di sini. Tetapi setahun yang lalu, dia meninggal karena kecelakaan. Kami ingin mendirikan peringatan untuknya di suatu tempat di kampus ini. Bolehkah?” tanyanya, dengan mata yang menjeritkan harap.
Sang Pemimpin Harvard tidak tersentuh. Wajahnya bahkan memerah.
Dia tampak terkejut. “Nyonya,” katanya dengan kasar, “Kita tidak bisa mendirikan tugu untuk setiap orang yang masuk Harvard dan meninggal. Kalau kita lakukan itu, tempat ini sudah akan seperti kuburan.”
“Oh, bukan,” sang wanita menjelaskan dengan cepat, “Kami tidak ingin mendirikan tugu peringatan. Kami ingin memberikan sebuah gedung untuk Harvard.”
Sang Pemimpin Harvard memutar matanya. Dia menatap sekilas pada baju pudar dan pakaian usang yang mereka kenakan dan berteriak, “Sebuah gedung! Apakah kalian tahu berapa harga sebuah gedung! Kami memiliki lebih dari 7,5 juta dolar hanya untuk bangunan fisik Harvard.”
Untuk beberapa saat sang wanita terdiam. Sang Pemimpin Harvard senang. Mungkin dia bisa terbebas dari mereka sekarang.
Sang wanita menoleh pada suaminya dan berkata pelan, “Kalau hanya sebesar itu biaya untuk memulai sebuah universitas, mengapa tidak kita buat sendiri saja?”
Suaminya mengangguk. Wajah sang Pemimpin Harvard menampakkan kebingungan.
Mr. dan Mrs. Leland Stanford bangkit dan berjalan pergi, melakukan perjalanan ke Palo Alto, California. Di sana, mereka mendirikan sebuah universitas yang menyandang nama mereka, sebuah peringatan untuk seorang anak yang tidak lagi dipedulikan oleh Harvard. Universitas tersebut adalah Stanford University, salah satu universitas favorit kelas atas di AS.
Apabila telah tertanam dalam hati kita setitik saja kesombongan, itu akan membuat kita merasa lebih tinggi dan lebih baik dari orang lain. Kita juga bisa lupa bahwa ada orang-orang lain di balik kesuksesan kita. Kesombongan juga akan akan membuat kita menjadi angkuh. Keangkuhan akan menjadikan kita membuat penilaian under estimate kepada orang lain, bahkan bisa lebih buruk dari itu.
Rabu, 28 April 2010
Doa Siapa yang Terkabul
Sebuah kapal karam di tengah laut karena terjangan badai dan ombak hebat. Hanya dua orang lelaki yang bisa menyelamatkan diri dan berenang ke sebuah pulau kecil yang gersang.
Dua orang yang selamat itu tak tahu apa yang harus dilakukan, namun mereka berdua yakin bahwa tidak ada yang dapat dilakukan kecuali berdoa kepada Tuhan. Untuk mengetahui doa siapakah yang paling dikabulkan, mereka sepakat untuk membagi pulau kecil itu menjadi dua wilayah. Mereka lalu tinggal sendiri-sendiri berseberangan di sisi-sisi pulau tersebut.
Doa pertama mereka panjatkan. Mereka memohon agar diturunkan makanan. Esok harinya, lelaki pertama melihat sebuah pohon dipenuhi buah-buahan yang tumbuh di sisi tempat tinggalnya, sedangkan di daerah tempat tinggal lelaki yang lainnya tetap kosong.
Seminggu kemudian, lelaki yang pertama merasa kesepian dan memutuskan untuk berdoa agar diberikan seorang istri. Keesokan harinya, ada kapal yang karam dan satu-satunya penumpang yang selamat adalah seorang wanita yang berenang dan terdampar di sisi tempat lelaki pertama itu tinggal, sedangkan di sisi tempat tinggal lelaki kedua tetap saja tidak ada apa-apanya.
Segera saja, lelaki pertama ini berdoa memohon rumah, pakaian, dan makanan. Keesokan harinya, seperti keajaiban saja, semua yang diminta hadir untuknya, sedangkan lelaki yang kedua tetap saja tidak mendapatkan apa-apa.
Akhirnya, lelaki pertama ini berdoa meminta kapal agar ia dan istrinya dapat meninggalkan pulau itu. Pagi harinya, mereka menemukan sebuah kapal tertambat di sisi pantainya. Segera saja lelaki pertama dan istrinya naik ke atas kapal dan siap-siap untuk berlayar meninggalkan pulau itu. Ia pun memutuskan untuk meninggalkan lelaki kedua yang tinggal di sisi lain pulau itu.
Begitu kapal siap berangkat, lelaki pertama ini mendengar suara dari langit yang sangat menggema, “Hai, mengapa engkau meninggalkan rekanmu yang ada di sisi lain pulau ini?”
“Karena hanya doa akulah yang dikabulkan,” jawab lelaki pertama ini. “Doa lelaki temanku itu tak satu pun dikabulkan. Karenanya, ia tak pantas mendapatkan apa-apa.”
“Kau salah!” suara itu membentak membahana. “Tahukah kau bahwa rekanmu itu setiap hari ikut berdoa dan setiap doanya selalu dikabulkan.”
“Katakan padaku,” tanya lelaki pertama itu, “doa apa yang telah dia panjatkan?”
“Ia berdoa agar semua doamu dikabulkan!”
Pesan moral dari cerita ini adalah sebagai berikut.
Terkadang kita berpikir bahwa hasil yang telah kita dapatkan adalah akibat dari doa kita yang telah dikabulkan. Kita terkadang tidak sadar bahwa doa kita terkabul karena doa orang lain yang juga ikut mendoakan kita; mungkin doa dari keluarga kita, kerabat, bahkan orang lain di sekitar kita. Jangan pernah ada kesombongan dalam hati karena apa yang telah kita miliki bisa jadi akibat dari doa orang lain juga.
Dua orang yang selamat itu tak tahu apa yang harus dilakukan, namun mereka berdua yakin bahwa tidak ada yang dapat dilakukan kecuali berdoa kepada Tuhan. Untuk mengetahui doa siapakah yang paling dikabulkan, mereka sepakat untuk membagi pulau kecil itu menjadi dua wilayah. Mereka lalu tinggal sendiri-sendiri berseberangan di sisi-sisi pulau tersebut.
Doa pertama mereka panjatkan. Mereka memohon agar diturunkan makanan. Esok harinya, lelaki pertama melihat sebuah pohon dipenuhi buah-buahan yang tumbuh di sisi tempat tinggalnya, sedangkan di daerah tempat tinggal lelaki yang lainnya tetap kosong.
Seminggu kemudian, lelaki yang pertama merasa kesepian dan memutuskan untuk berdoa agar diberikan seorang istri. Keesokan harinya, ada kapal yang karam dan satu-satunya penumpang yang selamat adalah seorang wanita yang berenang dan terdampar di sisi tempat lelaki pertama itu tinggal, sedangkan di sisi tempat tinggal lelaki kedua tetap saja tidak ada apa-apanya.
Segera saja, lelaki pertama ini berdoa memohon rumah, pakaian, dan makanan. Keesokan harinya, seperti keajaiban saja, semua yang diminta hadir untuknya, sedangkan lelaki yang kedua tetap saja tidak mendapatkan apa-apa.
Akhirnya, lelaki pertama ini berdoa meminta kapal agar ia dan istrinya dapat meninggalkan pulau itu. Pagi harinya, mereka menemukan sebuah kapal tertambat di sisi pantainya. Segera saja lelaki pertama dan istrinya naik ke atas kapal dan siap-siap untuk berlayar meninggalkan pulau itu. Ia pun memutuskan untuk meninggalkan lelaki kedua yang tinggal di sisi lain pulau itu.
Begitu kapal siap berangkat, lelaki pertama ini mendengar suara dari langit yang sangat menggema, “Hai, mengapa engkau meninggalkan rekanmu yang ada di sisi lain pulau ini?”
“Karena hanya doa akulah yang dikabulkan,” jawab lelaki pertama ini. “Doa lelaki temanku itu tak satu pun dikabulkan. Karenanya, ia tak pantas mendapatkan apa-apa.”
“Kau salah!” suara itu membentak membahana. “Tahukah kau bahwa rekanmu itu setiap hari ikut berdoa dan setiap doanya selalu dikabulkan.”
“Katakan padaku,” tanya lelaki pertama itu, “doa apa yang telah dia panjatkan?”
“Ia berdoa agar semua doamu dikabulkan!”
Pesan moral dari cerita ini adalah sebagai berikut.
Terkadang kita berpikir bahwa hasil yang telah kita dapatkan adalah akibat dari doa kita yang telah dikabulkan. Kita terkadang tidak sadar bahwa doa kita terkabul karena doa orang lain yang juga ikut mendoakan kita; mungkin doa dari keluarga kita, kerabat, bahkan orang lain di sekitar kita. Jangan pernah ada kesombongan dalam hati karena apa yang telah kita miliki bisa jadi akibat dari doa orang lain juga.
Merenungi Kisah Penebang Kayu
Alkisah, seorang pedagang kayu menerima tawaran seseorang untuk menebang pohon di hutannya. Karena gaji yang dijanjikan dan kondisi kerja yang bakal diterima sangat baik, si calon penebang pohon itu pun bertekad untuk bekerja sebaik mungkin.
Saat mulai bekerja, si majikan memberikan sebuah kapak dan menunjukkan area kerja yang harus diselesaikan dengan target waktu yang telah ditentukan kepada si penebang pohon.
Hari pertama bekerja, dia berhasil merobohkan 8 batang pohon. Sore hari, mendengar hasil kerja si penebang, sang majikan terkesan dan memberikan pujian dengan tulus, “Hasil kerjamu sungguh luar biasa! Saya sangat kagum terhadap kemampuanmu menebang pohon-pohon itu. Belum pernah ada orang sepertimu sebelum ini. Teruskanlah bekerja seperti itu.”
Sangat termotivasi oleh pujian majikannya, keesokan harinya, si penebang bekerja lebih keras lagi. Meskipun telah berusaha sekuat tenaga, dia hanya berhasil merobohkan 7 batang pohon. Hari ketiga, dia bekerja lebih keras lagi, tetapi hasilnya tetap tidak memuaskan, bahkan mengecewakan. Semakin bertambahnya hari, semakin sedikit pohon yang berhasil dirobohkan. “Sepertinya aku telah kehilangan kemampuan dan kekuatanku. Bagaimana aku dapat mempertanggungjawabkan hasil kerjaku kepada majikan?” pikir penebang pohon merasa malu dan putus asa. Dengan kepala tertunduk, dia menghadap sang majikan, meminta maaf atas hasil kerja yang kurang memadai dan mengeluh, tidak mengerti apa yang telah terjadi.
Sang majikan menyimak dan bertanya kepadanya, “Kapan terakhir kamu mengasah kapak?”
“Mengasah kapak? Saya tidak punya waktu untuk itu. Saya sangat sibuk setiap hari menebang pohon dari pagi hingga sore dengan sekuat tenaga,” kata si penebang.
“Nah, di sinilah masalahnya. Ingat, hari pertama kamu bekerja? Dengan kapak baru dan terasah, kamu bisa menebang pohon dengan hasil luar biasa. Hari-hari berikutnya, dengan tenaga yang sama, menggunakan kapak yang sama, tetapi tidak diasah, kamu tahu sendiri, hasilnya semakin menurun. Sesibuk apa pun, kamu harus meluangkan waktu untuk mengasah kapakmu agar setiap hari bekerja dengan tenaga yang sama dan hasil yang maksimal. Sekarang, mulailah mengasah kapakmu dan segera kembali bekerja!” perintah sang majikan.
Sambil mengangguk-anggukan kepala dan mengucap terima kasih, si penebang berlalu dari hadapan majikannya untuk mulai mengasah kapak.
Berikut ini adalah makna dari cerita tersebut.
Sama seperti si penebang pohon, kita pun setiap hari, dari pagi hingga malam hari, seolah terjebak dalam rutinitas terpola. Sibuk, sibuk, dan sibuk sehingga sering kali melupakan sisi lain yang sama pentingnya, yaitu istirahat sejenak untuk mengasah dan mengisi hal-hal baru untuk menambah pengetahuan, wawasan, dan spiritual. Jika kita mampu mengatur ritme seperti ini, kehidupan kita akan menjadi dinamis dan semakin berwawasan. Istirahat bukan berarti berhenti, melainkan membuat persiapan untuk perjalanan yang lebih jauh lagi.
Saat mulai bekerja, si majikan memberikan sebuah kapak dan menunjukkan area kerja yang harus diselesaikan dengan target waktu yang telah ditentukan kepada si penebang pohon.
Hari pertama bekerja, dia berhasil merobohkan 8 batang pohon. Sore hari, mendengar hasil kerja si penebang, sang majikan terkesan dan memberikan pujian dengan tulus, “Hasil kerjamu sungguh luar biasa! Saya sangat kagum terhadap kemampuanmu menebang pohon-pohon itu. Belum pernah ada orang sepertimu sebelum ini. Teruskanlah bekerja seperti itu.”
Sangat termotivasi oleh pujian majikannya, keesokan harinya, si penebang bekerja lebih keras lagi. Meskipun telah berusaha sekuat tenaga, dia hanya berhasil merobohkan 7 batang pohon. Hari ketiga, dia bekerja lebih keras lagi, tetapi hasilnya tetap tidak memuaskan, bahkan mengecewakan. Semakin bertambahnya hari, semakin sedikit pohon yang berhasil dirobohkan. “Sepertinya aku telah kehilangan kemampuan dan kekuatanku. Bagaimana aku dapat mempertanggungjawabkan hasil kerjaku kepada majikan?” pikir penebang pohon merasa malu dan putus asa. Dengan kepala tertunduk, dia menghadap sang majikan, meminta maaf atas hasil kerja yang kurang memadai dan mengeluh, tidak mengerti apa yang telah terjadi.
Sang majikan menyimak dan bertanya kepadanya, “Kapan terakhir kamu mengasah kapak?”
“Mengasah kapak? Saya tidak punya waktu untuk itu. Saya sangat sibuk setiap hari menebang pohon dari pagi hingga sore dengan sekuat tenaga,” kata si penebang.
“Nah, di sinilah masalahnya. Ingat, hari pertama kamu bekerja? Dengan kapak baru dan terasah, kamu bisa menebang pohon dengan hasil luar biasa. Hari-hari berikutnya, dengan tenaga yang sama, menggunakan kapak yang sama, tetapi tidak diasah, kamu tahu sendiri, hasilnya semakin menurun. Sesibuk apa pun, kamu harus meluangkan waktu untuk mengasah kapakmu agar setiap hari bekerja dengan tenaga yang sama dan hasil yang maksimal. Sekarang, mulailah mengasah kapakmu dan segera kembali bekerja!” perintah sang majikan.
Sambil mengangguk-anggukan kepala dan mengucap terima kasih, si penebang berlalu dari hadapan majikannya untuk mulai mengasah kapak.
Berikut ini adalah makna dari cerita tersebut.
Sama seperti si penebang pohon, kita pun setiap hari, dari pagi hingga malam hari, seolah terjebak dalam rutinitas terpola. Sibuk, sibuk, dan sibuk sehingga sering kali melupakan sisi lain yang sama pentingnya, yaitu istirahat sejenak untuk mengasah dan mengisi hal-hal baru untuk menambah pengetahuan, wawasan, dan spiritual. Jika kita mampu mengatur ritme seperti ini, kehidupan kita akan menjadi dinamis dan semakin berwawasan. Istirahat bukan berarti berhenti, melainkan membuat persiapan untuk perjalanan yang lebih jauh lagi.
Pencuri Impian
Ada seorang gadis muda yang sangat suka menari. Kepandaiannya menari sangat menonjol dibandingkan dengan rekan-rekannya sehingga dia sering kali menjadi juara di berbagai perlombaan yang diadakan.
Suatu hari, kotanya dikunjungi oleh seorang pakar tari yang berasal dari luar negeri. Pakar ini sangatlah hebat dan dari tangan dinginnya telah banyak dilahirkan penari-penari kelas dunia. Si gadis muda berhasil menjumpai sang pakar di belakang panggung seusai sebuah pagelaran tari. Si gadis muda bertanya, “Pak, saya ingin sekali menjadi penari kelas dunia. Apakah Anda punya waktu sejenak untuk menilai saya menari? Saya ingin tahu pendapat Anda tentang tarian saya.”
“Oke, menarilah di depan saya selama sepuluh menit,” jawab sang pakar.
Belum sepuluh menit berlalu, sang pakar berdiri dari kursinya lalu berlalu meninggalkan si gadis muda begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Betapa hancur si gadis muda melihat sikap sang pakar. Si gadis langsung berlari keluar. Pulang ke rumah, dia langsung menangis tersedu-sedu. Dia menjadi benci terhadap dirinya sendiri. Ternyata tarian yang selama ini dia bangga-banggakan tidak ada apa-apanya di hadapan sang pakar. Dia kemudian mengambil sepatu tarinya dan dia lemparkan ke dalam gudang. Sejak saat itu, dia bersumpah tidak pernah akan menari lagi.
Puluhan tahun berlalu. Sang gadis muda kini telah menjadi ibu dengan tiga orang anak. Suaminya telah meninggal. Untuk menghidupi keluarganya, dia bekerja menjadi pelayan sebuah toko di sudut jalan.
Suatu hari, ada sebuah pagelaran tari yang diadakan di kota itu. Tampak sang pakar berada di antara para menari muda di belakang panggung. Sang pakar tampak tua dengan rambutnya yang sudah putih. Si ibu muda dengan tiga anaknya juga datang ke pagelaran tari tersebut. Seusai acara, ibu ini membawa ketiga anaknya ke belakang panggung, mencari sang pakar dan memperkenalkan ketiga anaknya kepada sang pakar.
Sang pakar masih mengenali ibu muda ini dan kemudian mereka bercerita dengan akrab. Si ibu bertanya, “Pak, ada satu pertanyaan yang mengganjal di hati saya. Ini tentang penampilan saya sewaktu menari di hadapan Anda bertahun-tahun yang silam. Sebegitu jelekkah penampilan saya saat itu sehingga Anda langsung pergi meninggalkan saya begitu saja, tanpa mengatakan sepatah kata pun?”
“Oh ya, saya ingat peristiwanya. Terus terang, saya belum pernah melihat tarian seindah yang kamu lakukan waktu itu. Saya rasa kamu akan menjadi penari kelas dunia. Saya tidak mengerti mengapa kamu tiba-tiba berhenti dari dunia tari,” jawab sang pakar.
Si ibu muda sangat terkejut mendengar jawaban sang pakar. “Ini tidak adil…!!!” seru si ibu muda. “Sikap Anda telah mematikan semua impian saya. Kalau memang tarian saya bagus, mengapa Anda meninggalkan saya begitu saja ketika saya baru menari beberapa menit. Anda seharusnya memuji saya dan bukan tidak acuh begitu saja. Mestinya saya bisa menjadi penari kelas dunia. Bukan hanya menjadi pelayan toko!”
Si pakar menjawab lagi dengan tenang, “Tidak… Tidak. Saya rasa saya telah berbuat dengan benar. Anda tidak harus minum anggur satu barel untuk membuktikan anggur itu enak. Demikian juga saya. Saya tidak harus menonton Anda sepuluh menit untuk membuktikan tarian Anda bagus. Malam itu, saya juga sangat lelah setelah pertunjukan. Maka, sejenak saya tinggalkan Anda untuk mengambil kartu nama saya dan berharap Anda mau menghubungi saya lagi keesokan hari. Tapi, Anda sudah pergi ketika saya keluar. Dan, satu hal yang perlu Anda camkan bahwa Anda mestinya fokus pada impina Anda, bukan pada ucapan atau tindakan saya.”
“Lalu pujian? Kamu mengharapkan pujian? Ah, waktu itu, kamu sedang bertumbuh. Pujian itu seperti pedang bermata dua. Ada kalanya memotivasimu, bisa pula melemahkanmu. Faktanya saya melihat bahwa sebagian besar pujian yang diberikan pada saat seseorang sedang bertumbuh, hanya akan membuat dirinya puas dan pertumbuhannya berhenti. Saya justru lebih suka tidak mengacuhkanmu agar hal itu bisa melecutmu bertumbuh lebih cepat lagi.”
“Anda lihat, ini sebenarnya hanyalah masalah sepele. Mungkin Anda sakit hati pada waktu itu, tapi sakit hati Anda pada waktu itu akan cepat hilang jika anda tetap konsisten pada impian Anda dan sakit hati karena penyesalan tidak pernah bisa hilang selama-lamanya. Seandainya Anda pada waktu itu tidak menghiraukan apa yang terjadi dan tetap menari dan terus menari, mungkin hari ini Anda sudah menjadi penari kelas dunia.”
Suatu hari, kotanya dikunjungi oleh seorang pakar tari yang berasal dari luar negeri. Pakar ini sangatlah hebat dan dari tangan dinginnya telah banyak dilahirkan penari-penari kelas dunia. Si gadis muda berhasil menjumpai sang pakar di belakang panggung seusai sebuah pagelaran tari. Si gadis muda bertanya, “Pak, saya ingin sekali menjadi penari kelas dunia. Apakah Anda punya waktu sejenak untuk menilai saya menari? Saya ingin tahu pendapat Anda tentang tarian saya.”
“Oke, menarilah di depan saya selama sepuluh menit,” jawab sang pakar.
Belum sepuluh menit berlalu, sang pakar berdiri dari kursinya lalu berlalu meninggalkan si gadis muda begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Betapa hancur si gadis muda melihat sikap sang pakar. Si gadis langsung berlari keluar. Pulang ke rumah, dia langsung menangis tersedu-sedu. Dia menjadi benci terhadap dirinya sendiri. Ternyata tarian yang selama ini dia bangga-banggakan tidak ada apa-apanya di hadapan sang pakar. Dia kemudian mengambil sepatu tarinya dan dia lemparkan ke dalam gudang. Sejak saat itu, dia bersumpah tidak pernah akan menari lagi.
Puluhan tahun berlalu. Sang gadis muda kini telah menjadi ibu dengan tiga orang anak. Suaminya telah meninggal. Untuk menghidupi keluarganya, dia bekerja menjadi pelayan sebuah toko di sudut jalan.
Suatu hari, ada sebuah pagelaran tari yang diadakan di kota itu. Tampak sang pakar berada di antara para menari muda di belakang panggung. Sang pakar tampak tua dengan rambutnya yang sudah putih. Si ibu muda dengan tiga anaknya juga datang ke pagelaran tari tersebut. Seusai acara, ibu ini membawa ketiga anaknya ke belakang panggung, mencari sang pakar dan memperkenalkan ketiga anaknya kepada sang pakar.
Sang pakar masih mengenali ibu muda ini dan kemudian mereka bercerita dengan akrab. Si ibu bertanya, “Pak, ada satu pertanyaan yang mengganjal di hati saya. Ini tentang penampilan saya sewaktu menari di hadapan Anda bertahun-tahun yang silam. Sebegitu jelekkah penampilan saya saat itu sehingga Anda langsung pergi meninggalkan saya begitu saja, tanpa mengatakan sepatah kata pun?”
“Oh ya, saya ingat peristiwanya. Terus terang, saya belum pernah melihat tarian seindah yang kamu lakukan waktu itu. Saya rasa kamu akan menjadi penari kelas dunia. Saya tidak mengerti mengapa kamu tiba-tiba berhenti dari dunia tari,” jawab sang pakar.
Si ibu muda sangat terkejut mendengar jawaban sang pakar. “Ini tidak adil…!!!” seru si ibu muda. “Sikap Anda telah mematikan semua impian saya. Kalau memang tarian saya bagus, mengapa Anda meninggalkan saya begitu saja ketika saya baru menari beberapa menit. Anda seharusnya memuji saya dan bukan tidak acuh begitu saja. Mestinya saya bisa menjadi penari kelas dunia. Bukan hanya menjadi pelayan toko!”
Si pakar menjawab lagi dengan tenang, “Tidak… Tidak. Saya rasa saya telah berbuat dengan benar. Anda tidak harus minum anggur satu barel untuk membuktikan anggur itu enak. Demikian juga saya. Saya tidak harus menonton Anda sepuluh menit untuk membuktikan tarian Anda bagus. Malam itu, saya juga sangat lelah setelah pertunjukan. Maka, sejenak saya tinggalkan Anda untuk mengambil kartu nama saya dan berharap Anda mau menghubungi saya lagi keesokan hari. Tapi, Anda sudah pergi ketika saya keluar. Dan, satu hal yang perlu Anda camkan bahwa Anda mestinya fokus pada impina Anda, bukan pada ucapan atau tindakan saya.”
“Lalu pujian? Kamu mengharapkan pujian? Ah, waktu itu, kamu sedang bertumbuh. Pujian itu seperti pedang bermata dua. Ada kalanya memotivasimu, bisa pula melemahkanmu. Faktanya saya melihat bahwa sebagian besar pujian yang diberikan pada saat seseorang sedang bertumbuh, hanya akan membuat dirinya puas dan pertumbuhannya berhenti. Saya justru lebih suka tidak mengacuhkanmu agar hal itu bisa melecutmu bertumbuh lebih cepat lagi.”
“Anda lihat, ini sebenarnya hanyalah masalah sepele. Mungkin Anda sakit hati pada waktu itu, tapi sakit hati Anda pada waktu itu akan cepat hilang jika anda tetap konsisten pada impian Anda dan sakit hati karena penyesalan tidak pernah bisa hilang selama-lamanya. Seandainya Anda pada waktu itu tidak menghiraukan apa yang terjadi dan tetap menari dan terus menari, mungkin hari ini Anda sudah menjadi penari kelas dunia.”
Langganan:
Postingan (Atom)